Bisakah
HMI didefinisikan dengan sebuah aksi? Atau sebuah warna? Atau sebuah gaya? Bagi
saya, yang masuk dan bergaul di HMI di era 2000-an, HMI adalah sebuah anomali.
Kami,
yang menjadi saksi atas marak dan tumbuh menjamurnya organisasi-organisasi
puritan dan ideologi radikal pasca reformasi, bisa melihat bagaimana HMI justru
merespon fenomena “membanjirnya ideologi” pasca reformasi itu dengan cara yang
unik. HMI tak larut tapi juga tak benar-benar membentengi diri dari gelombang
keterbukaan pemikiran pasca membanjirnya ide-ide dan organisasi-organisasi
mahasiswa baru pasca runtuhnya orde baru. Di saat wacana-wacana “kiri”
mendominasi kampus di akhir 90-an, sementara di saat yang sama wacana
“revivalisme politik islam” mulai tumbuh subur di sisi yang lain, HMI terlibat
(dan benar-benar terlibat dalam pengertian yang sebenarnya) dengan semua
pergulatan wacana itu tapi tak ujug-ujug ikut di satu warna tertentu. Tak
seperti di organisasi mahasiswa Islam lainnya, di HMI 2000-an, wajah HMI adalah
wajah yang tanpa warna, atau lebih tepatnya, sangat kaya warna.
Di
HMI, anda bisa temui anak-anak muda muslim dengan segala warna dan segala macam
tradisi bergelut, berdebat, kadang tak menemukan titik sepakat, tapi tetap bisa
tertawa sama-sama. bisakah anda membayangkan orang kiri semacam Coen Hosein
Pontoh aktifis PRD itu bisa duduk semeja dengan Ustad Arifin Ilham? Di
sudut-sudut kampus, anda bisa temui anak-anak HMI yang bercelana cingkrang dan
berjidat hitam, sementara di tempat lain, anda bisa dapatkan anak-anak HMI berkaos
oblong, dengan jins sobek-sobek, dengan rambut mohawk. Anda bisa temukan
dengan mudah di HMI, anak-anak keluaran pesantren yang membedah Das Capital
selancar ia mengutip kitab al-umm nya asy-syafi’i. Di HMI, anda tak hanya
bisa temukan mahasiswa-mahasiswa kedokteran yang mampu mengkritik dengan fasih
buku-buku karya Fritjof Chapra, mahasiswa-mahasiswa fakultas hukum yang fasih
menjelaskan filsafat illuminati suhrawardi, atau mahasiswa-mahasiswa teknik
yang bisa mengkritik ide-ide Joseph Stiglitz, anda mungkin bahkan bisa menemui
calon dokter gigi yang bisa mengkritik essay-essay Goenawan Mohamad segampang
ia mengulas karya-karya the beatles. Kombinasi yang aneh bukan?
Walhasil,
bisakah HMI didefinisikan dengan satu aksi vandalisme? Tentu saja bisa, jika
anda menolak kenyataan bahwa HMI punya seribu wajah, yang sebagian anda suka,
sebagiannya lagi anda tak mungkin suka. Kita bisa menyebut Nurkholish Madjid,
Dawam Rajardjo, atau Djohan Efendi yang sekuler sebagai warna HMI, tapi kita
tak bisa menyangkal kalau Abu Bakar Baasyir pimpinan jamaah islamiyyah, dan
Abdul Aziz Kahar yang getol memperjuangkan penerapan syariat Islam adalah warna
lain HMI.
Kita
memang tentu saja lebih familiar dengan nama-nama semacam Anas Urbaningrum,
Akbar Tandjung, Jusuf Kalla, atau Anies Baswedan. Sebab merekalah yang dekat
dengan sorotan kamera, tapi ada banyak hal-hal (juga nama-nama) lain di HMI
yang bekerja jauh dari sorotan kamera. Sewaktu ikut menjadi tim relawan bencana
banjir di Mamuju Tengah beberapa tahun lalu, saya bertemu dengan senior HMI
yang telah bertahun-tahun mengelola pesantren yang didirikan di pedalaman di
tepi hutan Mamuju sana. Di tempat lain, sewaktu menyelenggarakan bakti sosial
di pedalaman Sulawesi Tengah, saya bertemu dengan alumni HMI yang telah bertahun-tahun
mengelola sekolah nonformal bagi anak-anak suku kaili di pedalaman hutan sana.
Di pedalaman Sulawesi Barat lainnya, saya bertemu dengan seorang guru honorer
alumni HMI yang telah berpuluh-puluh tahun mengabdi di sebuah sekolah dasar di
pedalaman desa transmigrasi marano. Daftar ini, bisa saja bertambah panjang,
jika anda mau datang ke makassar, bertemu dengan anak-anak muda HMI.
Di
HMI lah, kita bisa melihat wajah Islam indonesia yang sebenarnya. Dengan segala
ide-ide, dari yang puritan hingga yang progresif, bergulat dan bertarung tak
pernah henti. Di HMI lah, pertanyaan-pertanyaan remeh temeh hingga pertanyaan
besar, dari soal shalat lima waktu hingga pemilu, diulas dengan berbagai macam
pendekatan ideologi, meski sebagian besar pertanyaan-pertanyaan itu tak pernah
selesai. HMI mungkin, adalah wajah Islam indonesia, dengan segala
perdebatannya yang tak tuntas, juga dengan segala cacat dan boroknya. Juga
dengan segala oknum-oknumnya.
Namun
celakanya, yang kita temui di jalan-jalan yang macet karena demonstrasi, atau
yang kita temui di televisi yang dipenuhi berita korupsi dan sensasi adalah
wajah HMI yang penuh borok, wajah HMI yang jelas-jelas ada dan tak bisa
dipungkiri. Tapi maukah kita menilai sebuah entitas yang tak satu dan penuh
anomali itu dari apa yang kita lihat setengah-setengah dari media sosial dan
televisi yang, jikapun tidak tendensius, setidaknya tidak mampu mewakili wajah
HMI yang plural lagi heterogen itu? Maukah kita mendefinisikan sebuah
himpunan—lebih tepatnya—kumpulan-anak-anak muda yang sesungguhnya tak pernah
satu dan lebih banyak berdebat itu?
Jadi,
wajah yang manakah yang sebenarnya mewakili wajah HMI? Wajah anak-anak muda
yang gampang marah seperti yang kita lihat di televisi beberapa hari terakhir?
Atau wajah anak-anak muda yang berdiri bersama petani-petani di Takalar saat
mereka hendak digusur? Tentu anda tak bisa menemukan jawabannya di televisi dan
koran yang kita sama-sama tahu mengabdi pada kepentingan siapa.
Penulis
adalah Dokter Umum di Kab. Enrekang, masih aktif sebagai kader HMI
Posting Komentar