Manusia memerlukan satu
bentuk kepercayaan. Kepercayan itu akan melahirkan tata nilai guna menopang
hidup budayanya. Sikap tanpa percaya atau ragu yang sempurna tidak mungkin
dapat terjadi. Tetapi selain kepercayaan itu dianut karena kebutuhan dalam
waktu yang sama juga harus merupakan kebenaran. Demikian pula cara
berkepercayan harus pula benar. Menganut kepercayaan yang salah atau dengan
cara yang salah, bukan saja tidak dikehendaki, akan tetapi bahkan berbahaya.
Disebabkan kepercayaan
itu diperlukan, maka dalam kenyataan kita temui bentuk-bentuk kepercayaan yang
beraneka ragam di kalangan masyarakat. Karena bentuk-bentuk kepercayaan itu
berbeda satu dengan yang lainnya, maka sudah tentu ada dua kemungkinan:
kesemuanya itu salah atau salah satu saja di antaranya yang benar. Di samping
itu masing-masing bentuk kepercayaan mungkin mengandung unsur-unsur kebenaran
dan kepalsuan yang tercampur baur.
Sekalipun demikian
kenyataan menunjukkan bahwa kepercayaan itu melahirkan nilai-nilai. Nilai-nilai
itu kemudian melembaga dalam tradisi-tradisi yang diwariskan turun-temurun dan
mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya. Karena kecenderungan tradisi
untuk tetap mempertahankan diri terhadap kemungkinan perubahan nilai-nilai,
maka dalam kenyataan ikatan-ikatan tradisi sering menjadi penghambat
perkembangan peradaban dan kemajuan manusia. Di sinilah terdapat kontradiksi:
kepercayaan diperlukan sebagi sumber tata nilai guna menopang peradaban
manusia, tetapi nilai-nilai itu melembaga dalam tradisi yang membeku dan
mengikat, maka justru merugikan peradaban.
Oleh karena itu pada
dasarnya, guna perkembangan peradaban dan kemajuannya, manusia harus selalu
bersedia meninggalkan setiap bentuk kepercayaan dan tata nilai yang
tradisional, dan menganut kepercayaan yang sungguh-sungguh merupakan kebenaran.
Maka satu-satunya sumber dan pangkal nilai itu haruslah kebenaran itu sendiri.
Kebenaran merupakan asal dan tujuan segala kenyataan. Kebenaran yang mutlak
adalah Tuhan Allah.
Perumusan kalimat
Persaksian (Syahadat) Islam yang kesatu: Tidak ada Tuhan selain Allah mengandung
gabungan antara peniadaan dan pengecualian. Perkataan “tidak ada Tuhan”
meniadakan segala bentuk kepercayaan, sedangkan perkataan “selain Allah”
memperkecualikan kepercayaan kepada satu kebenaran. Dengan peniadaan itu,
dimaksudkan agar manusia membebaskan dirinya dari belenggu segenap kepercayaan
yang ada dengan segala akibatnya, dan dengan pengecualian itu dimaksudkan agar
manusia hanya tunduk pada Ukuran Kebenaran dalam menetapkan dan memilih
nilai-nilai. Hal itu berarti tunduk kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta
segala yang ada termasuk manusia. Tunduk dan pasrah itu disebut “Islam”.
Tuhan itu ada, dan ada
secara mutlak hanyalah Tuhan. Pendekatan ke arah pengetahuan akan adanya Tuhan
dapat ditempuh manusia dengan berbagai jalan, baik yang bersifat intuitif,
ilmiah, historis, pengalaman dan lain-lain.
Tetapi karena
kemutlakan Tuhan dan kenisbian manusia, maka manusia tidak mungkin menjangkau
sendiri kepada pengertian akan hakikat Tuhan yang sebenarnya. Namun demi
kelengkapan kepercayaan kepada Tuhan, manusia memerlukan pengetahuan secukupnya
tentang Ketuhanan dan tata nilai yang bersumber kepada-Nya. Oleh sebab itu
diperlukan sesuatu yang lebih tinggi namun tidak bertentangan dengan insting
dan indera.
Sesuatu yang diperlukan
itu adalah “Wahyu” yaitu pengajaran atau pemberitahuan yang langsung dari Tuhan
sendiri Kepada manusia. Tetapi sebagimana kemampuan menerima ilmu pengetahuan
sampai ke tingkat yang tertinggi tidak dimiliki oleh setiap orang, demikian
pula wahyu tidak diberikan kepada setiap orang. Wahyu itu hanya diberikan
melalui orang-orang tertentu yang memenuhi syarat yang dan dipilih oleh Tuhan
sendiri, yaitu para Nabi dan Rasul atau utusan Tuhan. Dengan kewajiban bagi
para rasul itu untuk menyampaikannya kepada seluruh manusia. Para Nabi dan
Rasul itu telah lewat dalam sejarah, semenjak Adam, Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa
atau Yesus anak Maryam sampai pada Muhammad. Muhammad adalah Rasul yang
penghabisan, jadi tiada Rasul lagi sesudahnya. Jadi para Nabi dan Rasul itu adalah
manusia biasa dengan kelebihan bahwa mereka menerima wahyu dari Tuhan.
Wahyu Tuhan yang
diberikan kepada Muhammad Rasulullah terkumpul seluruhnya dalam kitab suci
al-Quran. Selain berarti bacaan, kata al-Quran juga berarti “kumpulan” atau
kompilasi dari pada segala keterangan. Sekalipun garis-garis besar, al-Quran
merupakan suatu kompendium, yang secara singkat namun meliputi mengandung
keterangan-keterangan tentang segala sesuatu sejak dari sekitar alam dan
manusia, sampai kepada hal-hal ghaib yang tidak mungkin diketahui manusia
dengan cara lain. (Lihat Qs. al-Nahl
[16]: 89)
Jadi untuk memahami
Ketuhanan Yang Maha Esa dan ajaran-ajaran-Nya, manusia harus berpegang kepada
al-Quran, dengan terlebih dahulu mempercayai ke-Rasul-an Muhammad. Maka kalimat
kesaksian yang kedua memuat esensi kedua dari kepercayaan yang harus dianut
umat manusia, yaitu bahwa “Muhammad adalah Rasul Allah”.
Kemudian di dalam
al-Qur’an didapatkan keterangan lebih lanjut tentang Ketuhanan Yang Maha Esa
dan ajaran-ajaran-Nya yang merupakan garis besar jalan hidup yang mesti diikuti
oleh umat manusia. Tentang Tuhan antara lain surat al-Ikhlas menerangkan secara
singkat: Katakanlah: Dia itu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Dia itu adalah
Tuhan, Tuhan tempat menaruh segala harapan. Tiada Ia berputra dan tiada pula Ia
berbapa. Serta tiada sesuatu pun yang bagi-Nya sepadan. (Lihat Qs. al-Ikhlash [112]: 1-4)
Selanjutnya Dia adalah
Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Kasih dan Maha
Sayang, Maha Pengampun, dan seterusnya dari pada segala sifat kesempurnaan yang
layaknya bagi Yang Maha Agung dan Maha Mulia, Tuhan Seru sekalian alam.
Juga diterangkan bahwa
Tuhan adalah “Yang Pertama dan Yang Penghabisan”, “Yang Lahir dan Yang Bathin” dan
“ke mana jua manusia berpaling maka di sanalah wajah Tuhan”, dan “Dia itu
bersama kamu dimana pun kamu berada”. Jadi Tuhan tidak terikat oleh ruang dan
waktu.
Sebagai “Yang Pertama
dan Yang Penghabisan”, maka sekaligus Tuhan adalah asal dan tujuan segala yang
ada, termasuk tata-nilai. Artinya: sebagaimana tata-nilai harus bersumber
kepada kebenaran dan berdasarkan kecintaan kepada-Nya. Ia pun sekaligus menuju
kepada kebenaran dan mengarah kepada “persetujuan” atau “ridla”-Nya. Inilah
kesatuan antara asal dan tujuan hidup yang sebenarnya (Tuhan sebagai tujuan
hidup yang benar diterangkan dalam bagian lain).
Tuhan menciptakan alam
raya ini dengan sebenarnya, dan mengaturnya dengan pasti. Oleh karena itu, alam
mempunyai eksistensi yang ril dan objektif, serta berjalan mengikuti
hukum-hukum yang tetap. Dan sebagai ciptaan dari pada sebaik-baik penciptaan,
maka alam mengandung kebaikan pada dirinya dan teratur secara harmonis. Alam
ini dicipatakan untuk manusia bagi keperluan perkembangan perdabannya. Maka
alam dapat dan harus dijadikan objek penyelidikan guna dimengerti hukum-hukum
Tuhan (Sunnatullah) yang berlaku di dalamnya. Kemudian manusia memanfaatkan
alam sesuai dengan hukum-hukumnya sendiri.
Jika kenyataan alam ini
berbeda dengan persangkaan Idealisme maupun agama Hindu yang mengatakan bahwa
alam itu tidak mempunyai eksistensi riil dan obyektif, melainkan semua palsu
atau maya dan sekedar emanasi atau pancaran dunia lain yang kongkrit, yaitu
Idea ataupun Nirwana. Juga tidak seperti dikatakan filsafat agnosticisme yang
mengatakan bahwa alam tidak mungkin dimengerti manusia. Dan sekalipun filsafat
materialisme mengatakan bahwa alam ini mempunyai eksistensi riil dan obyektif
sehingga dapat dimengerti oleh manusia, namun filsafat itu mengatakan bahwa
alam ada dengan sendirinya. Peniadaan Pencipta atau pun peniadaan Tuhan adalah
satu sudut dari filsafat materialisme.
Manusia adalah puncak
ciptaan dan makhluk-Nya yang tertinggi. Sebagai makhluk tertinggi, manusia
dijadikan “khalifah” atau wakil Tuhan di bumi. Manusia ditumbuhkan dari bumi
dan diserahi untuk memakmurkannya. Maka urusan di dunia telah diserahkan Tuhan
kepada manusia. Manusia sepenuhnya bertanggung jawab atas segala perbuatannya
di dunia. Perbuatan manusia di dunia ini membentuk rentetan peristiwa yang
disebut “sejarah”. Dunia adalah wadah bagi sejarah, di mana manusia menjadi
pemilik atau “raja”nya.
Sebenarnya terdapat
hukum-hukum Tuhan yang pasti (Sunnatullah) yang menguasai sejarah, sebagaimana
adanya hukum yang menguasai alam. Tetapi berbeda dengan alam yang telah secara
otomatis tunduk kepada Sunnatullah itu, manusia karena kesadaran dan
kemampuannya untuk mengadakan pilihan tidak selalu tunduk kepada Sunnatullah
itu, manusia karena kesadaran dan kemampuannya untuk mengadakan pilihan tidak
selalu tunduk kepada hukum-hukum kehidupannya sendiri. Ketidakpatuhan itu
disebabkan karena sikap menentang atau kebodohan.
Hukum dasar alami dari
segala yang ada ialah “perubahan dan perkembangan”. Sebab: segala sesuatu itu
rusak berubah kecuali Tuhan”. Hal itu dikarenakan segala sesuatu ini adalah
ciptaan Tuhan dan pengembangan oleh-Nya dalam suatu proses yang tiada henti-hentinya.
Segala sesuatu ini berasal dari Tuhan dan menuju kepada Tuhan. Maka
satu-satunya yang tak mengenal perubahan hanyalah Tuhan sendiri, asal dan
tujuan segala sesuatu. Di dalam memenuhi tugas sejarah, manusia harus berbuat
sejalan dengan arus perkembangan itu menuju kepada kebenaran. Hal itu berarti
bahwa manusia harus selalu berorientasikepada kebenaran, dan untuk itu
harus mengetahui jalan menuju kebenaran itu. Dia tidak selalu mesti
mewarisi begitu saja nilai-nilai tradisional yang tidak diketahuinya dengan
pasti akan kebenaranya.
Oleh sebab itu kehidup
yang baik ialah yang disemangati oleh Iman dan diterangi oleh Ilmu. Bidang iman
dan pencabangannya menjadi wewenang Wahyu, sedangkan bidang ilmu Pengetahuan
menjadi wewenang manusia untuk mengusahakan dan mengumpulkannya dalam kehidupan
dunia ini. Ilmu itu meliputi tentang alam dan tentang manusia (sejarah).
Untuk memperoleh ilmu
pengetahuan tentang nilai kebenaran sejauh mungkin, manusia harus melihat alam
dan kehidupan ini sebagaimana adanya, tanpa melekatkan kepadanya
kualitas-kualitas yang bersifat ketuhanan. Sebab sebagaimana diterangkan di
muka, alam diciptakan dengan wujud yang nyata dan objektif sebagaimana adanya.
Alam tidak menyerupai Tuhan dan Tuhan pun untuk sebagian atau seluruhnya, tidak
sama dengan alam. Sikap mempertuhankan dan mensucikan (sakralisasi) haruslah
ditujukan kepada Tuhan sendiri –Tuhan Allah Yang Maha Esa. Ini disebut “Tauhid”
dan lawannya disebut “Syirik”, artinya mengadakan tandingan yaitu mengadakan
tandingan terhadap Tuhan, baik seluruhnya atau sebagian. Maka jelasnya bahwa
syirik menghalangi perkembangan dan kemajuan peradaban, kemanusiaan yang menuju
kebenaran.
Kesudahan sejarah atau
kehidupan duniawi ini ialah “Hari Kiamat”. Kiamat merupakan permulaan bentuk
kehidupan yang tidak lagi bersifat sejarah atau duniawi, yaitu kehidupan
Akhirat. Kiamat disebut juga “Hari Agama”, atau “Yaum-ud Dien”, di mana Tuhan
menjadi satu-satunya Pemilik dan Raja. Disitu tidak lagi terdapat kehidupan
historis seperti kebebasan, usaha dan tata masyarakat. Tetapi yang ada ialah
pertanggunganjawab individual manusia yang bersifat mutlak di hadapan Illahi
atau segala perbuatannya dahulu di dalam sejarah. Selanjutnya kiamat merupakan
“Hari Agama”, maka tidak ada yang mungkin kita ketahui selain dari yang
diterangkan dalam wahyu. Tentang Hari Kiamat dan kelanjutannya/kehidupan
Akhirat yang non historis manusia hanya diharuskan percaya tanpa kemungkinan
mengetahui kejadian-kejadiannya.
II.Pengertian-pengertian Dasar Tentang Kemanusiaan
Telah disebutkan di
muka, bahwa manusia adalah puncak ciptaan, merupakan makhluk yang tertinggi dan
adalah wakil dari Tuhan di bumi.
Sesuatu yang membuat
manusia menjadi manusia bukan hanya beberapa sifat atau kegiatan yang ada
padanya, melainkan suatu keseluruhan susunan sebagai sifat-sifat dan
kegiatan-kegiatan yang khusus dimiliki manusia saja yaitu: Fitrah. Fitrah
membuat manusia berkeinginan suci dan secara kodrati cenderung kepada kebenaran
(Hanief). “Dlamier” atau hati nurani adalah pemancar keinginan kepada kebaikan,
kesucian dan kebenaran. Tujuan hidup manusia ialah kebenaran yang mutlak atau
kebenaran yang Mutlak atauk Kebenaran terakhir, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
Fitrah merupakan bentuk
keseluruhan tentang diri manusia yang secara asasi dan prinsipil membedakannya
dari makhluk-makhluk yang lain. Dengan memenuhi hati nurani, seseorang berada
dalam fitrahnya dan menjadi manusia sejati.
Kehidupan manusia
dinyatakan dalam kerja atau amal perbuatannya. Nilai-nilai tidak dapat
dikatakan hidup dan berarti sebelum menyatakan diri dalam kegiatan-kegiatan
amaliyah yang kongkret. Nilai hidup manusia tergantung kepada nilai kerjanya.
Di dalam dan melalui amal perbuatan yang berperikemanusiaan (fitri –sesuai
dengan tuntutan hati nurani) manusia mengecap kebahagiaan, dan sebaliknya di
dalam dan melalui amal perbuatan yang tidak berperikemanusiaan (jahat) ia
menderita kepedihan.
Hidup yang penuh dan
berarti ialah yang dijalani dengan sungguh-sungguh dan sempurna, yang di
dalamnya manusia dapat mewujudkan dirinya dengan mengembangkan
kecakapan-kecakapan dan memenuhi keperluan-keperluannya. Manusia yang hidup
berarti dan berharga ialah dia yang merasakan kebahagiaan dan kenikmatan dalam
kegiatan-kegiatan yang membawa perubahan ke arah kemajuan –baik yang mengenai
alam maupun masyarakat– yaitu hidup berjuang dalam arti yang seluas-luasnya.
Dia diliputi oleh semangat mencari kebaikan, keindahan, dan kebenaran. Dia
menyerap segala sesuatu yang baru dan berharga sesuai dengan perkembangan
kemanusiaan, dan menyatakan dalam hidup berperadaban dan berkebudayaan. Dia
aktif, kreatif dan kaya akan kebijaksanaan (wisdom-hikmah). Dia berpengalaman
luas, berfikir bebas, berpandangan lapang dan terbuka, bersedia mengikuti kebenaran
dari manapun datangnya. Dia adalah manusia toleran dalam arti kata yang benar,
penahan amarah dan pemaaf. Keutamaan ini merupakan kekayaan kemanusiaan yang
menjadi milik dari pribadi-pribadi yang senantiasa berkembang dan selamanya
tumbuh kearah yang lebih baik.
Seorang manusia sejati
(Insan-Kamil) ialah yang kegiatan mental dan fisiknya merupakan suatu
keseluruhan. Kerja jasmani dan kerja rohani bukanlah dua kenyataan yang
terpisah. Malahan dia tidak mengenal perbedaan antara kerja dan kesenangan;
kerja baginya adalah kesenangan dan kesenangan ada dalam dan melalui kerja. Dia
berkepribadian, merdeka, memiliki dirinya sendiri, menyatakan ke luar corak
perorangannya dan mengembangkan kepribadian dan wataknya secara harmonis. Dia
tidak mengenal perbedaan antara kehidupan individual dan kehidupan komunal,
tidak membedakan antara dia sebagai perorangan dan sebagai anggota masyarakat.
Hak dan kewajiban serta kegiatan-kegiatan untuk dirinya adalah juga sekaligus
untuk sesama umat manusia. Baginya tidak ada pembagian dua (dichotomy) antara
kegiatan-kegiatan rohani dan jasmani, pribadi dan masyarakat, agama dan politik
ataupun dunia akhirat. Kesemuanya dimanifestasikan dalam suatu kesatuan kerja
yang tunggal pancaran niatnya, yaitu mencari kebaikan, keindahan dan kebenaran.
Dia adalah seorang yang
ikhlas, artinya seluruh amal perbuatannya benar-benar berasal dari dirinya
sendiri dan merupakan pancaran langsung daripada kecenderungannya yang suci dan
murni. Suatu pekerjaan dilakukan karena keyakinan akan nilai pekerjaan itu
sendiri bagi kebaikan dan kebenaran, bukan karena hendak memperoleh tujuan lain
yang nilainya lebih rendah (pamrih). Kerja yang ikhlas mengangkat nilai
kemanusiaan pelakunya dan memberikannya kebahagiaan. Hal itu akan menghilangkan
sebab-sebab suatu jenis pekerjaan yang ditinggalkan, dan kerja atau amal akan
menjadi kegiatan kemanusiaan yang paling berharga. Keikhlasan adalah kunci
kebahagiaan hidup manusia; tidak ada kebahagiaan sejati tanpa keihlasan, dan
keikhlasan selalu menimbulkan kebahagiaan.
Hidup sejahtera fitrah
ialah bekerja secara ikhlas yang memancar dari hati nurani yang hanief atau
suci.
III.Kemerdekaan Manusia (Ikhtiar) dan Keharusan Universal (Takdir)
Keikhlasan yang insani
itu tidak mungkin ada tanpa kemerdekaan. Kemerdekaan dalam arti kerja sukarela
tanpa paksaan yang didorong oleh kemauan yang murni. Kemerdekaan dalam
pengertian kebebasan memilih sehingga pekerjaan itu benar-benar dilakukan
sejalan dengan hati nurani. Keikhlasan merupakan pernyataan kreatif kehidupan
manusia yang berasal dari perkembangan tak terkekang dari pada kemauan
sebaiknya. Keikhlasan adalah gambaran terpenting dari kehidupan manusia sejati.
Kehidupan manusia
mengenal dua aspek, yaitu yang temporer berupa kehidupan sekarang di dunia, dan
juga yang abadi (eksternal) berupa kehidupan kelak sesudah mati di akhirat.
Dalam aspek pertama manusia melakukan amal perbuatan dengan akibat baik dan
buruk yang harus dipikul secara individual dan komunal sekaligus. Sedangkan
dalam aspek kedua manusia tidak lagi melakukan amal perbuatan, melainkan hanya
menerima akibat baik dan buruk yang harus dipikul secara individual
semata-mata. Di akhirat tidak terdapat pertanggungjawaban bersama, tetapi hanya
ada pertanggungjawaban perseorangan yang mutlak. Manusia dilahirkan sebagai
individu. Hidup di tengah alam dan masyarat sesamanya, kemudian menjadi
individu kembali.
Jadi individualitas
adalah kenyataan asasi yang pertama dan terakhir dari kemanusiaan, serta letak
sebenarnya nilai kemanusiaan itu sendiri. Karena individu adalah
penanggungjawab terakhir dan mutlak dari pada amal perbuatannya, maka
kemerdekaan pribadi adalah haknya yang pertama dan asasi.
Tetapi individualitas
hanyalah pernyataan yang asasi dan primer saja dari pada kemanusiaan. Kenyataan
lain, sekalipun bersifat sekunder, ialah bahwa individu hidup dalam suatu
bentuk hubungan tertentu dengan dunia sekitarnya. Manusia hidup di tengah alam,
sebagai makhluk sosial hidup di tengah sesamanya. Dari segi ini manusia adalah
bagian dari keseluruhan alam yang merupakan suatu kesatuan.
Oleh karena itu
kemerdekaan harus diciptakan untuk pribadi dalam konteks hidup di tengah alam
dan masyarakat. Sekalipun kemerdekaan adalah esensi dari kemanusiaan tidaklah
berarti bahwa manusia selalu dan di mana saja merdeka. Adanya batas-batas dari
kemerdekaan adalah suatu kenyataan. Batas-batas tertentu itu dikarenakan adanya
hukum-hukum yang pasti dan tetap yang menguasai alam –hukum yang menguasai
benda-benda maupun masyarakat manusia sendiri– yang tidak tunduk dan tidak pula
bergantung kepada kemauan manusia. Hukum-hukum itu mengakibatkan adanya “Keharusan
Universal” atau “Kepastian umum” dan “Taqdir”.
Jadi kalau kemerdekaan
pribadi diwujudkan dalam konteks hidup di tengah alam dan masyarakat di mana
terdapat keharusan universal yang tidak tertaklukkan, maka apakah bentuk
hubungan yang harus dipunyai oleh seseorang kepada dunia sekitarnya? Sudah
tentu bukan hubungan penyerahan, sebab penyerahan berarti peniadaan terhadap
kemerdekaan itu sendiri. Pengakuan akan adanya keharusan universal yang
diartikan sebagai penyerahan kepadanya sebelum suatu usaha dilakukan berarti
perbudakan. Pengakuan akan adanya kepastian umum atau taqdir hanyalah pengakuan
akan adanya batas-batas kemerdekaan. Sebaliknya suatu persyaratan yang positif
dari pada kemerdekaan adalah pengetahuan tentang adanya kemungkinan-kemungkinan
kreatif manusia. Yaitu tempat bagi adanya usaha yang bebas dan bertanggungjawab
. Usaha yang bebas dan bertanggungjawab itu dinamakan “Ikhtiar”, artinya
pilihan merdeka. Ikhtiar adalah kegiatan merdeka dari individu, juga berarti
kegiatan dari manusia merdeka. Ikhtiar merupakan usaha yang ditentukan sendiri
di mana manusia berbuat sebagai pribadi banyak segi yang integral dan bebas,
dan di mana manusia tidak diperbudak oleh suatu yang lain kecuali oleh keinginannya
sendiri dan kecintaannya kepada kebaikan. Tanpa adanya kesempatan untuk berbuat
atau berikhtiar, manusia menjadi tidak merdeka dan menjadi tidak bisa
dimengerti untuk memberikan pertanggungjawaban pribadi dari amal
perbuatannya.Kegiatan merdeka berarti perbuatan manusia yang mengubah dunia dan
nasibnya sendiri. Jadi sekalipun terdapat keharusan universal atau taqdir,
namun manusia dengan haknya untuk berikhtiar mempunyai peranan aktif dan
menentukan bagi dunia dan dirinya sendiri.
Manusia tidak dapat
berbicara mengenai taqdir suatu kejadian sebelum kejadian itu menjadi
kenyataan. Maka percaya kepada taqdir akan membawa keseimbangan jiwa, tidak
terlalu berputus asa karena suatu kegagalan dan tidak pula terlalu membanggakan
diri karena suatu kemujuran. Sebab segala sesuatu tidak hanya tergantung pada
dirinya sendiri, melainkan juga kepada keharusan yang universal itu.
IV.Ketuhanan Yang Maha Esa dan Perikemanusiaan
Telah jelas bahwa
hubungan yang benar antara individu manusia dengan dunia sekitarnya bukan
hubungan penyerahan. Sebab penyerahan meniadakan kemerdekaan dan keikhlasan dan
kemanusiaan. Tetapi jelas pula bahwa tujuan manusia hidup merdeka dengan segala
kegiatannya ialah kebenaran. Oleh karena itu sekalipun tidak tunduk pada suatu
apapun dari dunia sekelilingnya, namun manusia merdeka masih dan mesti tunduk
pada kebenaran. Karena menjadikan sesuatu sebagai tujuan adalah berarti
pengabdian kepada-Nya.
Jadi
kebenaran-kebenaran menjadi tujuan hidup. Dan apabila demikian maka sesuai
dengan pembicaraan terdahulu, maka tujuan hidup yang terakhir dan mutlak ialah
Kebenaran Terakhir dan Mutlak sebagai tujuan dan tempat menundukan diri. Adakah
Kebenaran Terakhir dan Mutlak itu? Ada, sebagaimana tujuan akhir dan mutlak
dari pada hidup itu ada. Karena sifatnya yang terakhir (ultimate) dan mutlak
maka sudah pasti kebenaran itu hanya satu secara mutlak pula. Dalam
perbendaharaan bahasa dan kultural, kita sebut Kebenaran Mutlak itu: Tuhan.
Kemudian sesuai dengan uraian Bab I, Tuhan itu menyatakan diri kepada manusia
sebagai ALLAH. Karena kemutlakan-Nya, Tuhan bukan saja tujuan segala kebenaran,
akan tetapi sekaligus juga asal dari segala kebenaran. Maka Dia adalah Yang
Maha Benar. Setiap pikiran Yang Maha Benar adalah pada hakekatnya pikiran
tentang Tuhan Yang Maha Esa.
Oleh sebab itu seorang
manusia merdeka ialah yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Keikhlasan tiada lain
ialah kegiatan yang dilakukan semata-mata bertujuan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
yaitu Kebenaran Mutlak, guna memperoleh: persetujuan atau “ridho” daripada-Nya.
Sebagaimana kemanusiaan terjadi karena adanya kemerdekaan, dan kemerdekaan ada
karena adanya tujuan kepada Tuhan semata-mata. Hal itu berarti bahwa segala
bentuk kegiatan hidup dilakukan hanyalah karena nilai kebenaran itu yang
terkandung di dalamnya guna mendapatkan persetujuan atau ridho Kebenaran
Mutlak. Dan hanya pekerjaan “karena Allah” itulah yang bakal memberikan
rewarding bagi kemanusiaan.
Kata “Iman” berarti
percaya. Dalam hal ini percaya kepada Tuhan sebagai tujuan hidup yang mutlak dan
tempat mengabdikan diri kepada-Nya. Sikap menyerahkan diri dan mengabdi kepada
Tuhan itu disebut Islam. Islam menjadi nama bagi segenap ajaran pengabdian
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pelakunya disebut “muslim”. Tidak lagi diperbudak
oleh sesama manusia atau sesuatu yang lain dari dunia sekelilingnya, manusia
muslim adalah manusia yang merdeka yang menyerahkan dan menghambakan diri
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Semangat tauhid (memutuskan pengabdia hanya kepada
Tuhan Yang Maha Esa) menimbulkan kesatuan tujuan hidup, kesatuan kepribadian
dan kemasyarakatan. Kehidupan bertauhid tidak lagi berat sebelah, partial dan
terbatas. Manusia tauhid adalah manusia sejati dan sempurna, yang kesadaran
akan dirinya tidak mengenal batas. Dia adalah pribadi manusia yang sifat perorangannya
adalah dari keseluruhan (totalitas) dunia kebudayaan dan peradaban. Dia
memiliki seluruh dunia ini dalam arti kata mengambil bagian sepenuh mungkin
dalam menciptakan dan menikmati kebaikan-kebaikan dan peradaban kebudayaan.
Pembagian kemanusiaan
yang tidak selaras dengan dasar kesatuan kemanusiaan (human totality) itu
antara lain ialah pemisahan antara eksistensi ekonomi dan moral manusia, antara
kegiatan duniawi dan ukhrowi, antara tugas-tugas peradaban dan agama. Demikian
pula sebaliknya, anggapan bahwa manusia adalah tujuan pada dirinya membela
kemanusiaan seseorang menjadi: manusia sebagai pelaku kegiatan dan manusia
sebagai tujuan kegiatan. Kepribadian yang pecah berlawanan dengan kepribadian
kesatuan (human totality) yang homogen harmonis pada dirinya sendiri; jadi
berlawanan dengan kemanusiaan.
Oleh karena hakekat
hidup adalah amal perbuatan atau kerja, maka nilai-nilai tidak dapat dikatakan
ada sebelum menyatakan diri dalam kegiatan-kegiatan konkrit dan nyata.
Kecintaan kepada Tuhan sebagai Kebaikan, Keindahan dan Kebenaran Yang Mutlak
dengan sendirinya memancar dalam kehidupan sehari-hari dalam hubungannya dengan
alam dan masyarakat, berupa usaha-usaha yang nyata guna menciptakan sesuatu
yang membawa kebaikan, keindahan dan kebenaran bagi sesama manusia. “Amal
Saleh” (harfiah; pekerjaan yang selaras dalam hal ini selaras –dalam hal ini
selaras dengan kemanusiaan) merupakan pancaran langsung daripada iman. Jadi
Ketuhanan Yang Maha Esa memancar dalam Perikemanusiaan. Sebaliknya karena kemanusiaan
adalah kelanjutan daripada kecintaan kepada kebenaran, maka tidak ada
perikemanusiaan tanpa Ketuhanan Yang Maha Esa. Perikemanusiaan tanpa Ketuhanan
adalah tidak sejati. Oleh karena itu semangat Ketuhanan Yang Maha Esa dan
semangat mencari ridha daripada-Nya adalah dasar peradaban yang benar dan
kokoh. Dasar selain itu pasti goyah dan akhirnya membawa keruntuhan peradaban.
“Syirik” merupakan
kebalikan dari Tauhid, secara harfiah artinya mengadakan tandingan, dalam hal
ini kepada Tuhan. Syirik adalah sikap menyerah dan menghambakan diri kepada
sesuatu selain kebenaran, baik kepada sesama manusia maupun alam. Karena
sifatnya yang meniadakan kemerdekaan asasi, syirik merupakan kejahatan terbesar
kepada kemanusiaan. Pada hakikatnya segala bentuk kejahatan dilakukan orang
karena syirik. Sebab dalam melakukan kejahatan itu dia menghambakan diri kepada
motif yang mendorong dilakukannya kejahatan tersebut yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip kebenaran. Demikian pula karena syirik seseorang mengadakan pamrih
atas pekerjaan yang dilakukannya. Dia bekerja bukan karena nilai pekerjaan itu
sendiri dalam hubungannya dengan kebaikan, keindahan dan kebenaran, tetapi
karena hendak memperoleh sesuatu yang lain.
“Musyrik” adalah pelaku
dari syirik. Seseorang yang menghambakan diri kepada sesuatu selain Tuhan baik
manusia maupun alam disebut musyrik, sebab dia mengangkat sesuatu selain Tuhan
menjadi setingkat dengan Tuhan. Demikian pula seseorang yang memperhamba
manusia (sebagaimana dengan Tiran atau Diktator) adalah musyrik, sebab dia
mengangkat dirinya sendiri sama atau setingkat dengan Tuhan. Kedua perilaku itu
merupakan pertentangan terhadap kemanusiaan, baik dari dirinya sendiri, maupun
bagi orang lain.
Maka sikap
berperikemanusiaan adalah sikap yang adil, yaitu sikap menempatkan sesuatu pada
tempatnya yang wajar. Seseorang yang adil (just, wajar) ialah yang memandang
manusia, tidak melebihkan sehingga menghambakan dirinya pada-Nya. Dia selalu
menyimpan itikad baik kepada sesamanya serta membuat baginya kea rah yang baik
dan lebih baik (Ihsan). Maka Ketuhanan menimbulkan sikap yang adil dan baik
kepada sesama manusia.
V. Individu dan Masyarakat
Telah diterangkan di
muka, bahwa pusat kemanusiaan adalah masing-masing pribadinya, dan bahwa
kemerdekaan pribadi adalah hak asasinya yang pertama. Tidak ada sesuatu yang
lebih berharga dari kemerdekaan itu. Juga telah dikemukakan bahwa manusia hidup
dalam suatu bentuk hubungan tertentu dengan dunia sekitarnya. Sebagai makhluk
sosial, manusia tidak mungkin kebutuhan kemanusiaannya dengan baik tanpa berada
di tengah sesamanya dalam bentuk-bentuk hubungan tertentu.
Maka dalam masyarakat
itulah kemerdekan asasi diwujudkan. Tetapi justru karena adanya kemerdekaan
pribadi itu maka timbul perbedaan-perbedan antara satu pribadi dengan lainnya.
Sebenarnya perbedaan-perbedaan itu adalah untuk kebaikannya sendiri, sebab
kenyataan yang penting dan prinsipil, ialah bahwa kehidupan ekonomi, sosial dan
kultural menghendaki pembagian kerja yang berbeda. Pemenuhan suatu bidang
kegiatan guna kepentingan masyarakat adalah suatu keharusan, sekalipun hanya
oleh sebagian anggotanya saja. Namun sejalan dengan prinsip kemanusiaan dan
kemerdekaan, dalam kehidupan yang teratur tiap-tiap orang harus diberi
kesempatan untuk memilih dari beberapa kemungkinan dan untuk berpindah dari
satu lingkungan ke lingkungan lainnya. Peningkatan kemanusian tidak dapat
terjadi tanpa memberikan kepada setiap orang keleluasan untuk mengembangkan
kecakapannya melalui aktifitas dan kerja yang sesuai dengan kecenderungannya dan
bakatnya.
Namun inilah
kontradiksi yang ada pada manusia, dia adalah makhluk yang dengan kecerdasan
dan kemerdekaannya dapat berbuat baik kepada sesamanya, tetapi pada waktu yang
sama ia merasakan adanya pertentangan yang konstan dengan keinginannya yang tak
terbatas di bawah sadar yang jika dilakukan pasti merugikan orang lain.
Keinginan tak terbatas sebagai hawa nafsu. Hawa nafsu cenderung ke arah
merugikan orang lain (kejahatan) dan kejahatan dilakukan orang karena mengikuti
hawa nafsu.
Ancaman atas kemerdekaan
masyarakat, dan karena itu juga berarti ancaman terhadap kemerdekaan pribadi
anggotanya ialah keinginan tak terbatas atau hawa nafsu tersebut. Maka selain
kemerdekaan, persamaan hak antara sesama manusia adalah esensi kemanusiaan yang
harus ditegakkan. Realisasi persamaan dicapai dengan membatasi kemerdekaan.
Kemerdekaan tak terbatas hanya dapat dipunyai satu orang, sedangkan untuk lebih
dari satu orang kemerdekaan tak terbatas tidak dapat dilaksanakan dalam waktu
yang bersamaan. Kemerdekaan seseorang dibatasi oleh kemerdekaan orang lain.
Pelaksanaan kemerdekaan tak terbatas hanya berarti pemberian kemerdekaan kepada
pihak yang kuat dalam masyarakat dan dengan merugikan pihak yang lemah
(perbudakan dalam segala bentuknya). Sudah tentu hal ini bertentangan dengan
prinsip keadilan. Kemerdekaan dan keadilan merupakan dua nilai yang saling
menopang. Sebab harga diri manusia terletak pada adanya tanggung jawab pribadi
dan hak bagi orang lain untuk mengembangkan kepribadiannya. Sebagai kawan hidup
dengan tingkat yang sama, anggota-anggota masyarakat harus saling menolong
dalam membentuk masyarakat yang bahagia.
Sejarah dan
perkembangannya bukanlah suatu yang tidak mungkin dirubah. Hubungan yang benar
antara manusia dengan sejarah bukanlah penyerahan pasif. Tetapi sejarah
ditentukan oleh manusia sendiri. Tanpa pengertian ini, adanya azab Tuhan
(akibat buruk) dan pahala (akibat baik) bagi satu amal perbuatan mustahil
ditanggung manusia. Manusia merasakan akibat amal perbuatannya sesuai dengan
ikhtiarnya dalam hidup ini (dalam sejarah), dan dalam hidup kemudian (sesudah
sejarah). Semakin seseorang bersungguh-sungguh dalam kekuatan yang bertanggung
jawab dengan kesadaran yang terus menerus akan tujuan dalam membentuk
masyarakat semakin ia mendekati tujuan. Manusia mengenali dirinya sebagai
makhluk yang nilai dan martabatnya dapat sepenuhnya dinyatakan jika ia
mempunyai kemerdekaan tidak saja untuk mengatur hidupnya sendiri tetapi juga
untuk memperbaiki hubungan sesama manusia dalam lingkungan masyarakat. Dasar hidup
gotong-royong ini ialah kesetiakawanan dan kecintaan sesama manusia dalam
pengakuan akan adanya persamaan dan kehormatan bagi setiap orang.
VI. Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi
Telah kita bicarakan
tentang hubungan antara individu dan masyarakat, di mana kemerdekaan dan
pembatasan kemerdekaan saling bergantungan, dan di mana perbaikan kondisi
masyarakat tergantung kepada perencanaan manusia dan usaha-usaha bersamanya.
Jika kemerdekan dicirikan dalam bentuk yang tidak bersyarat (kemerdekaan tak terbatas),
maka sudah terang bahwa setiap orang diperbolehkan mengejar dengan bebas segala
keinginan pribadinya.
Akibatnya pertarungan
antara keinginan yang bermacam-macam itu satu sama lain, dan kekacauan atau
anarkhi. Sudah barang tentu hal itu menghancurkan masyarakat dan meniadakan
kemanusiaan sebab itu harus ditegakkan keadilan dalam masyarakat.
Siapakah yang harus
menegakkan keadilan, dalam masyarakat? Sudah barang pasti ialah masyarakat
sendiri. Tetapi dalam prakteknya diperlukan adanya suatu kelompok dalam
masyarakat yang karena kualitas-kualitas yang dimilikinya senantiasa mengadakan
usaha menegakkan keadilan itu dengan jalan selalu menganjurkan sesuatu yang
bersifat kemanusiaan serta mencegah terjadinya sesuatu yang berlawanan dengan
kemanusiaan. Kualitas terpenting yang harus dipunyai, ialah rasa
kemanusiaan yang tinggi sebagai pancaran dari kecintaannya yang terbatas
kepada Tuhan. Di samping itu diperlukankecakapan yang cukup. Kelompok
orang-orang itu adalah pimpinan masyarakat; atau setida-tidaknya mereka adalah
orang-orang yang seharusnya memimpin masyarakat. Memimpin ialah menegakkan
keadilan, menjaga agar setiap orang memperoleh hak asasinya, dan dalam jangka
waktu yang sama menghormati kemerdekaan orang lain dan martabat kemanusiaannya
sebagai manivestasi kesadaran akan tanggung jawab sosial.
Negara adalah bentuk
masyarakat yang terpenting, dan pemerintah adalah susunan pimpinan masyarakat
yang terkuat dan berpengaruh. Oleh sebab itu pemerintah yang pertama-tama
berkewajiban menegakkan keadilan. Maksud semula dan fundamental daripada
didirikannya negara dan pemerintahan ialah guna melindungi manusia yang menjadi
warga negara daripada kemungkinan perusakan terhadap kemerdekaan dan harga diri
sebagai manusia. Sebaliknya setiap orang harus mengambil bagian yang yang
bertanggung jawab dalam masalah-masalah negara atas persamaan yang diperoleh
melalui demokrasi. Pada dasarnya masyarakat dengan masing-masing pribadi yang
ada di dalamnya haruslah memerintah dan memimpin diri sendiri. Oleh karena
itu pemerintah haruslah merupakan kekuatan pimpinan yang lahir dari kalangan
masyarakat sendiri.Pemerintahan harus demokratis, berasal dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat. Menjalankan kebijaksanaannya atas persetujuan rakyat
berdasarkan musyawarah dan di mana rasa keadilan dan martabat kemanusiaan tidak
terganggu. Kekuatan yang sebenarnya di dalam negara ada di tangan rakyat, dan
pemerintah harus bertanggung jawab pada rakyat.
Menegakkan keadilan
mencakup penguasaan atas keinginan-keinginan dan kepentingan-kepentingan
pribadi yang tak mengenal batas (hawa nafsu). Adalah kewajiban dari negara
sendiri dan kekuatan-kekuatan sosial untuk menjunjung tinggi prinsip
kegotong-royongan dan kecintaan sesama manusia. Menegakkan keadilan adalah
amanat rakyat kepada pemerintah yang mesti dilaksanakan. Ketaatan rakyat kepada
pemerintah merupakan ketaatan kepada diri sendiri yang wajib dilaksanakan.
Didasarkan oleh sikap hidup yang benar, ketaatan kepada pemerintah termasuk
dalam lingkungan ketaatan kepada Tuhan (Kebenaran Mutlak). Pemerintah yang
benar dan harus ditaati ialah mengabdi kepada kemanusiaan, kebenaran dan
akhirnya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Perwujudan menegakkan
keadilan yang terpenting dan berpengaruh ialah menegakkan keadilan di
bidang ekonomi atau pembagian kekayaan di antara anggota masyarakat.
Keadilan menuntut agar setiap orang dapat bagian yang wajar dari kekayaan atau
rezeki. Dalam masyarakat yang tidak mengenal batas-batas individual, sejarah
merupakan perkembangan dialektis yang berjalan tanpa kendali daripada
pertentangan-pertentangan golongan yang didorong oleh ketidakserasian antara
pertumbuhan kekuatan produksi di satu pihak dan pengumpulan kekayaan oleh
golongan-golongan kecil dengan hak-hak istimewa di lain pihak. Karena
kemerdekaan tak terbatas mendorong timbulnya jurang-jurang pemisah antara
kekayaan dan kemiskinan yang semakin dalam. Dalam proses selanjutnya apabila
–yaitu bila sudah mencapai batas maksimal– pertentangan golongan itu akan
menghancurkan sendi-sendi tatanan sosial dan membinasakan kemanusiaan dan
peradabannya.
Dalam masyarakat yang
tidak adil, kekayaan dan kemiskinan akan terjadi dalam kualitas dan proporsi
yang tidak wajar. Sekalipun realitas selalu menunjukan adanya
perbedaan-perbedaan antara manusia dalam kemampuan fisik maupun mental, namun
kemiskinan dalam masyarakat dengan pemerintah yang tidak menegakkan keadilan
adalah merupakan perwujudan daripada kezaliman. Orang-orang kaya menjadi pelaku
dari kezaliman itu sedangkan orang-orang miskin dijadikan sasaran atau
korbannya. Oleh karena itu sebagai yang menjadi sasaran kezaliman,
orang-orang miskin berada di pihak yang benar. Pertentangan antara kaum kaya
dan kaum miskin menjadi pertentangan antara kaum yang menjalankan kezaliman
dengan yang dizalimi. Dikarenakan kebenaran pasti menang terhadap kebatilan,
maka pertentang itu akan disudahi dengan kemenangan tak terhindarkan bagi kaum
miskin, kemudian mereka memegang tampuk pimpinan dalam masyarakat.
Kejahatan di bidang
ekonomi yang menyeluruh adalah penindasan oleh Kapitalisme. Dengan Kepitalisme
dengan mudah seseorang dapat memeras orang-orang yang berjuang mempertahankan
hidupnya karena kemiskinan, kemudian merampas hak-haknya secara tidak sah,
berkat kemampuannya untuk memaksakan persyaratan kerjanya dan hidup kepada
mereka. Oleh karena menegakkan keadilan mencakup pemberantasan Kapitalisme dan
segenap usaha akumulasi kekayaan pada sekelompok kecil masyarakat. Sesudah
syirik, kejahatan terbesar kepada kemanusiaan adalah penumpukan harta kekayaan
beserta penggunaanya yang tidak benar, menyimpang dari kepentingan umum, tidak
mengikuti jalan Tuhan. Maka menegakan keadilan ialah membimbing manusia ke arah
pelaksanaan tata masyarakat yang akan memberikan kepada setiap orang kesempatan
yang sama untuk mengatur hidupnya secara bebas dan terhormat (‘amar ma’ruf) dan
pertentangan terus menerus terhadap segala bentuk penindasan kepada manusia,
kepada kebenaran asasinya dan rasa kemanusiaan (nahi munkar). Dengan perkataan
lain harus diadakan restriksi-restriksi atas cara-cara memperoleh, mengumpulkan
dan menggunakan kekayaan itu. Cara yang tidak bertentangan dengan kemanusiaan
diperbolehkan (yang ma’ruf dihalalkan) sedangkan cara yang
bertentangan dengan kemanusiaan dilarang (yang munkar diharamkan).
Pembagian ekonomi
secara tidak benar itu hanya ada dalam suatu masyarakat yang tidak menjalankan
prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam hal ini pengakuan Ketuhanan Yang Maha
Esa tetapi tidak melaksanakannya, sama nilainya dengan tidak ber-Ketuhanan sama
sekali. Sebab nilai-nilai tidak dapat dikatakan hidup sebelum menyatakan
diri dalam amal perbuatan yang nyata.
Dalam suatu masyarakat
yang tidak menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya tempat untuk tunduk dan
menyerahkn diri, manusia dapat diperbudak antara lain oleh harta benda. Tidak
lagi seorang pekerja menguasai hasil pekerjaannya, tetapi justru dikuasai oleh
hasil pekerjaan itu. Produksi seorang buruh memperbesar kapital majikan, dan
kapital itu selanjutnya lebih memperbudak buruh. Demikian pula terjadi pada
majikan: bukan ia menguasai kapital tetapi kapital itulah yang menguasainya.
Kapital atau kekayaan telah menggenggam dan memberikan sifat-sifat tertentu
seperti keserakahan, ketamakan dan kemiskinan.
Oleh karena itu
menegakkan keadilan bukan hanys dengan “amar ma’ruf nahi mungkar” sebagaimana
diterangkan di muka, tetapi juga melalui pendidikan yang intensif terhadap
pribadi-pribadi agar tetap menyintai kebenaran dan menyadari secara
mendalam akan adanya Tuhan. Sembahyang merupakan pendidikan yang
kontinyu, sebagai bentuk formal peringatan kepada Tuhan. Sembahyang yang benar
akan lebih efektif dalam meluruskan dan membetulkan garis hidup manusia.
Sebagaimana ia mencegah kekejian dan kemungkaran. Jadi sembahyang merupakan
penopang hidup yang benar. Sembahyang menjelaskan masalah-masalah kehidupan,
termasuk pemenuhan kebutuhan yang ada secara intrinsik pada rohani manusia yang
mendalam, yaitu kebutuhan spiritual berupa pengabdian yang bersifat mutlak.
Pengabdian itu juga tidak tersalurkan secara benar kepada Tuhan Yang Maha Esa,
tentu tersalurkan ke arah sesuatu yang lain, dan membahayakan kemanusiaan.
Dalam hubungan itu telah terdahulu keterangan tentang syirik yang merupakan
kejahatan fundamental terhaap kemanusiaan.
Dalam masyarakat, yang
adil mungkin masih terdapat pembagian manusia menjadi golongan kaya miskin.
Tetapi hal itu terjadi dalam batas-batas kewajaran dan kemanusiaan, dengan
pertautan kekayaan dan kemiskinan yang mendekat. Hal itu sejalan dengan
dibenarkannya pemilikan pribadi (privat ownership) atas harta kekayaan dan
adanya perbedaan-perbedaan tak terhindarkan daripada kemampuan-kemampuan
pribadi, fisik maupun mental.
Walaupun demikian
usaha-usaha ke arah perbaikan dalam pembagian rejeki ke arah yang merata tetap
harus dijalankan oleh masyarakat. Dalam hal ini zakat adalah penyelesaian
terakhir masalah perbedaan kaya dan miskin itu. Zakat dipunguti dari
orang-orang kaya dalam jumlah persentase tertentu untuk dibagikan kepada orang
miskin. Zakat dikenakan hanya atas harta yang diperoleh secara benar, sah dan
halal saja. Sedang harta kekayaan yang haram tidak dikenakan zakat tetapi harus
dijadikan milik umum guna manfaat bagi rakyat dengan jalan penyitaan oleh
Pemerintah. Oleh karena itu, sebelum penarikan zakat dilakukan terlebih dahulu
harus dibentuk suatu masyarakat yang adil berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,
di mana tidak lagi didapati cara memperoleh kekayaan secara haram, di mana
penindasan atas manusia oleh manusia dihapuskan.
Sebagaimana ada
ketetapan tentang bagaimana harta kekayaan itu diperoleh, juga ditetapkan
bagaimana mempergunakan harta kekayaan itu. Pemilikan pribadi dibenarkan hanya
jika penggunaan hak itu tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakt. Dalam
hal bertentangan, pemilik pribadi menjadi batal, dan Pemerintah berhak
mengajukan penyitaan.
Seorang dibenarkan
mempergunakan harta kekayaan dalam batas-batas tertentu. Yaitu dalam tidak
kurang tetapi juga tidak melebihi rata-rata penggunaan dalam masyarakat.
Penggunaan yang berlebihan (tafsir atau israf) bertentangan dengan
perikemanusiaan. Kemewahan selalu menjadi provokasi terhadap pertentangan
golongan dalam masyarakat yang berakibat destruktif. Sebaliknya penggunaan
kurang dari rata-rata masyarakat (taqtier) merusakan diri sendiri dalam
masyarakat disebabkan membekunya sebagian dari kekayaan umum yang dapat
digunakan untuk manfaat bersama.
Hal itu semuanya
merupakan kebenaran karena pada hakekatnya seluruh harta kekayaan ini adalah
milik Tuhan. Manusia seluruhnya diberi hak yang sama atas kekayaan itu dan
harus diberikan bagian yang wajar dari padanya. Pemilikan oleh seseorang
(secara benar) hanya bersifat relatif sebagaimana amanat dari Tuhan. Penggunaan
harta itu sendiri harus sejalan dengan yang dikehendaki Tuhan, untuk
kepentingan umum. Maka kalau terjadi kemiskinan, orang-orang miskin diberi hak
atas sebagian harta orang-orang kaya, terutama yang masih dekat dalam hubungan
keluarga. Adalah kewajiban negara dan masyarakat untuk melindungi kehidupan
keluarga dan memberinya bantuan dan dorongan negara yang adil menciptakan
persyaratan hidup yang wajar sebagaimana diperlukan oleh pribadi-pribadi agar
dia dan keluarganya dapat mengatur hidupnya secara terhormat sesuai dengan
keinginannya untuk dapat menerima tanggung jawab atas kegiatan-kegiatannya.
Dalam prakteknya, hal itu berarti bahwa pemerintah harus membuka jalan yang
mudah dan kesempatan yang sama ke arah pendidikan kecakapan yang wajar
kemerdekaan beribadah sepenuhnya dan pembagian kekayaan bangsa yang pantas.
VII. Kemanusiaan dan Ilmu Pengetahuan
Dari seluruh uraian
yang telah dikemukakan, dapatlah dikumpulkan dengan pasti bahwa inti daripada
kemanusiaan yang suci ialah Iman dan kerja kemanusiaan atau amal saleh. Iman
dalam pengertian kepercayaan akan adanya Kebenaran Mutlak yaitu Tuhan Yang Maha
Esa, serta menjadikan satu-satunya tujuan hidup dan tempat pengabdian diri
terakhir dan mutlak. Sikap itu menimbulkan kecintaan tak terbatas pada
kebenaran, kesucian dan kebaikan yang menyatakan dirinya dalam sikap
perikemanusiaan. Sikap perikemanusiaan menghasilkan amal saleh, artinya amal
yang berkesesuaian dengan dan meningkatkan kemanusiaan. Sebaik-baiknya manusia
ialah yang berguna untuk sesamanya. Tetapi bagaimana amal itu harus dilakukan
oleh manusia?
Sebagaimana setiap
perjalanan ke arah sesuatu tujuan ialah gerak ke depan, demikian pula
perjalanan umat manusia atau sejarah gerak maju ke depan. Maka semua nilai
dalam kehidupan relatif adanya berlaku untuk sesuatu tempat dan ssuatu waktu
tertentu. Demikianlah segala sesuatu itu berubah, kecuali tujuan akhir dari
segala yang ada, yaitu Kebenaran Mutlak atau Tuhan. Jadi semua nilai yang benar
adalah bersumber atau dijabarkan dari ketentuan-ketentuan hkum-hukum Tuhan.
Oleh karena itu manusia
berikhtiar dan medereka, ialah yang bergerak. Gerak itu tidak lain dari gerak
maju ke depan (progressif). Dia adalah dinamis, tidak statis. Dia bukanlah
seorang tradisionalis, apalagi reaksioner. Dia menghendaki perubahan
terus-menerus sejalan dengan arah yang menuju Kebenaran Mutlak. Dia senantiasa
mencari kebenaran-kebenaran itu selama perjalanan hidupnya. Kebenaran-kebenaran
itu menyatakan dirinya dan diketemukan di dalam alam dan sejarah umat manusia.
Ilmu pengetahuan adalah
alat manusia untuk mencari dan menemukan kebenaran-kebenaran itu. Dengan
menggunakan kekuatan intelegensinya dan dengan dibimbing oleh hati nuraninya,
manusia dapat menemukan kebenaran-kebenaran dalam hidupnya. Sekalipun relatif,
namun kebenaran-kebenaran merupakan tonggak sajarah yang mesti dilalui oleh
umat manusia dalam perjalanan menuju Kebenaran Mutlak. Dan keyakinan akan
adanya Kebenaran Mutlak itu sendiri pada suatu saat dapat dicapai oleh manusia,
yaitu ketika mereka telah memahami benar seluruh alam dan sejarahnya sendiri.
Jadi ilmu pengetahuan adalah persyaratan dari amal saleh. Hanya mereka yang
dibimbing oleh ilmu pengetahuan dapat berjalan di atas kebenaran-kebenaran,
yang menyampaikannya kepada kepatuhan yang tanpa reserve kepada Tuhan Yang Maha
Eesa. Dengan iman dan keluasan ilmu pengetahuan manusia mencapai puncak
kemanusiaan yang tertinggi.
Ilmu pengetahuan ialah
pengetian yang dipunyai oleh manusia secara benar tentang dunia sekitarnya dan
dirinya sendiri. Hubungan yang benar antara manusia dan alam sekelilingnya
ialah hubungan penguasaan dan pengarahan. Manusia harus menguasai alam dan
masyarakat, guna dapat mengarahkannya pada yang lebih baik. Penguasaan dan
kemudian pengarahan itu tidak mungkin dilaksanakan tanpa pengetahuan tentang
hukum-hukumnya yang tetap (Sunnatullah). Manusia harus memahami alam dengan
hukum-hukumnya yang berlaku agar dapat menguasai dan menggunakannya bagi
kemanusiaan. Sebab alam tersedia bagi umat manusia bagi kepentingan pertumbuhan
kemanusiaan. Hal itu tidak dapat dilakukan kecuali dengan mengerahkan kemampuan
intelektualita atau rationya. Demikian pula manusia harus memahami sejarah
dengan hukum-hukumnya yang tetap. Hukum sejarah yang tetap (Sunnatullah untuk
sejarah) yaitu pada garis besarnya ialah bahwa manusia akan menemui kejayaan
jika setia kepada kemanusiaan fitrinya dan menemui kehancuran jika menyimpang
daripadanya dengan menuruti hawa nafsu. Tetapi cara-cara perbaikan hidup hingga
terus-menerus maju ke arah yang lebih baik sesuai dengan fitrah adalah masalah
pengalaman. Pengalaman ini harus ditarik dari masa lampau, untuk dapat mengerti
masa sekarang dan memperhitungkan masa yang akan datang. Menguasai dan
mengarahkan masyarakat ialah mengganti kaidah-kaidah umumnya dan membimbingnya
ke arah kamajuan dan kebaikan.
VIII. Kesimpulan dan Penutup
Dari seluruh uraian
yang telah lalu dapatlah diambil kesimpulan secara garis besar sebagai berikut:
I.Hidup yang benar
dimulai dengan percaya atau Iman kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, dan
keinginan mendekat serta kecintaan kepada-Nya yaitu taqwa. Iman dan taqwa
bukanlah nilai yang statis dan abstrak. Nilai-nilai itu memancar dengan
sendirinya dalam bentuk kerja nyata bagi kemanusiaan dan amal saleh. Iman tidak
memberi arti apa-apa bagi manusia jika tidak disertai dengan usaha-usaha dan
kegiatan-kegiatan yang sungguh-sungguh untuk menegakkan perikehidupan yang
benar dalam berperadaban dan berbudaya.
II.Iman dan taqwa
dipelihara dan diperkuat dengan melakukan ibadah atau pengabdian formal kepada
Tuhan. Ibadah mendidik individu agar tetap ingat dan taat kepada Tuhan dan
berpegang teguh kepada kebenaran sebagaimana yang dikehendaki oleh hati nurani
yang hanief. Segala sesuatu yang menyangkut bentuk dan cara ibadah menjadi
wewenang penuh daripada agama tanpa adanya hak manusia untuk mencampurinya.
Ibadah yang terus menerus kepada Tuhan menyadarkan manusia akan kedudukannya di
tengah alam dan masyarakar sesamanya. Ia tidak melebihkan diri sehingga
mengarah kepada kedudukan Tuhan dengan merugikan kamanusiaan orang lain, dan
tidak mengurangkan kehormatan dirinya sebagai makhluk tertinggi dengan akibat
perbudakan diri kepada alam maupun orang lain. Dengan ibadah manusia dididik
untuk memiliki kemerdekaannya, kemanusiaannya dan dirinya sendiri, sebab ia
telah berbuat ikhlas, yaitu pemurnian pengabdian kepada kebenaran semata.
III.Kerja kemanusiaan
atau amal saleh mengambil bentuknya yang utama dalam usaha yang sungguh-sungguh
secara essensiil menyangkut kepentingan manusia secara keseluruhan, baik dalam
ukuran ruang maupun waktu. Yaitu menegakkan keadilan dalam masyarakat sehingga
setiap orang memperoleh harga diri dan martabatnya sebagai manusia. Hal itu
berarti bahwa usaha-usaha yang terus menerus harus dilakukan guna mengarahkan
masyarakat kepada nilai-nilai yang baik, lebih maju dan lebih insane; usah itu
ialah ‘amar ma’ruf, di samping usaha lain untuk mencegah segala bentuk
kejahatan dan kemerosotan nilai-nilai kemanusiaan atau nahi munkar. Selanjutnya
bentuk kerja kemanusiaan yang lebih nyata ialah pembelaan kaum lemah, kaum
tertindas dan kaum miskin pada umumnya serta usaha-usaha kearah peningkatan
nasib dan taraf hidup mereka yang wajar dan layak sebagai manusia.
IV.Kesadaran dan rasa
tanggung jawab yang besar kepada kemanusiaan melahirkan Jihad, yaitu sikap
hidup berjuang. Berjuang itu dilakukan dan ditanggung bersama oleh manusia
dalam bentuk gotong royong atas dasar kemanusiaan, dan kecintaan kepada Tuhan.
Perjuangan menegakan kebenaran dan keadilan menuntut ketabahan, kesabaran dan
pengorbanan. Dan dengan jalan itulah kehidupan yang bahagia dapat diwujudkan
dalam masyarakat manusia. Oleh sebab itu persyaratan bagi berhasilnya
perjuangan adalah adanya barisan yang merupakan bangunan yang kokoh dan kuat.
Mereka terikat satu sama lain oleh persaudaraan dan solidaritas yang tinggi,
dan oleh sikap tegas kepada musuh-musuh dari kemanusiaan. Tetapi justru demi
kemanusiaan mereka adalah manusia yang toleran. Sekalipun mengikuti jalan yang
benar, mereka tidak memaksakan kepada orang lain atau golongan lain.
V.Kerja kemanusiaan
atau amal saleh itu merupakan proses perkembangan yang permanen. Perjuangan
kemanusiaan berusaha mengarah kepada yang lebih baik, lebih benar. Oleh sebab
itu manusia harus mengetahui arah yang benar daripada perkembangan peradaban di
segala bidang. Dengan perkataan lain, manusia harus mendalami dan selalu
mempergunakan ilmu pengetahuan. Kerja manusia dan kerja kemanusiaan tanpa ilmu
tidak akan mencapai tujuannya, sebaliknya ilmu tanpa rasa kemanusiaan tidak
akan membawa kebahagiaan bahkan menghancurkan peradaban. Ilmu pengetahuan
adalah karunia Tuhan yang besar artinya bagi manusia. Mendalami ilmu
pengetahuan harus didasari dengan sikap terbuka. Mampu menangkapkan
perkembangan pemikiran tentang kehidupan berperadaban dan berbudaya. Kemudian
mengambil dan mengamalkan di antaranya yang terbaik.
Dengan demikian tugas
hidup manusia menjadi sangat sederhana, yaitu ber-Iman, ber-Ilmu, dan ber-Amal.
Wabillahit taufik wal
hidayah Walhamdu Lillahi Robbil ‘Alamin.
Sumber: hmipedia.org
Posting Komentar